Pengunjung

FEEDJIT Live Traffic Feed

Feedback


Free chat widget @ ShoutMix
Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts

Friday, October 17, 2008

Fanny J. Crosby

Penulis Besar Lagu Himne
Fanny J. Crosby (1820-1915)




Bila Anda menyanyikan lagu rohani lama, yang sudah sangat Anda kenal, kemudian Anda melihat ke bagian bawah buku nyanyian Anda, boleh jadi Anda akan menemukan nama Fanny J. Crosby sebagai pengarangnya.

Selama karirnya yang panjang, ia telah menulis lebih dari 8500 lagu rohani, banyak di antaranya masih sangat populer hingga sekarang. – misalnya Blessed Assurance ('Ku Berbahagia, KJ 392), Safe in the Arms of Jesus (Selamat Di Tangan Yesus, KJ 388), Pass Me Not, O Gentle Saviour (Mampirlah, dengar doaku, KJ 26), Jesus, Keep Me Near the Cross (Pada Kaki SalibMu, KJ 368) – setiap lagu merupakan bukti kecintaannya terhadap Yesus.

Fanny dilahirkan pada 24 Maret 1820 sebagai puteri keluarga John dan Mercy Crosby. Pada bulan Mei 1820, ketika ia masih berumur enam minggu, ia terkena demam, dan matanya agak terganggu. Dokternya di Putnam County, New York, sedang keluar kota, dan orang yang mengaku sebagai dokter salah memberikan pengobatan, hingga penglihatannya rusak dan tak bisa melihat lagi, orang itu lari meninggalkan kota karena panik.

Fanny tidak pernah merasa dendam pada orang itu. “Tak pernah sesaat pun selama hidup saya yang lebih dari delapan puluh tahun terkilas kebencian padanya, karena saya percaya…bahwa Tuhan yang Mahabaik… dengan cara itu memberkati saya untuk pekerjaan yang masih boleh saya lakukan.”

Orangtuanya, orang Kristen yang taat, membesarkan Fanny menjadi anak yang berbahagia dan percaya diri. Ia mengenakan pakaiannya sendiri, membereskan rambutnya sendiri, dan berlaku tertib tanpa cela. Fanny banyak menghabiskan waktunya dengan memanjat pohon, berkuda, dan menceritakan humor pada teman-temannya.

Orang yang mempunyai pengaruh kuat pada masa kanak-kanak Fanny adalah neneknya. Sebagai wanita yang cerdas dan sabar, ia sering mengajak Fanny berjalan-jalan di alam terbuka, menceritakan setiap kuntum bunga dan daun-daun secara sangat rinci dan Fanny mempelajarinya dengan sentuhan-sentuhan jarinya. Ia memperkenalkan pada karya-karya sastera dan puisi. Dan yang terpenting, ia membacakan cerita-cerita dari Alkitab setiap hari.

Walaupun mendapat pendidikan dengan penuh perhatian, kehausan Fanny akan pengetahuan tak pernah terpuaskan; ingatannya sangat luar biasa. Pada umur sepuluh tahun ia dapat mengingat sebagian besar Perjanjian Baru dan lima kitab Perjanjian Lama. Sayangnya, karena sekolah pada masa itu belum dilengkapi dengan perangkat untuk mengajar orang buta, ia tidak dapat memperoleh pendidikan umum.

Fanny berlutut bersama neneknya dan berdoa: “Tuhan yang Mahabaik, tunjukkan pada saya bagaimana saya dapat belajar seperti anak-anak lain.” Tak lama kemudian ibunya menyampaikan berita menggembirakan tentang kesempatan untuk masuk ke Institut Bagi Orang Buta di New York.

Dalam tahun itu juga, ia menjadi siswi terbaik dan setelah lulus ia menjadi guru di situ. Minat utamanya pada puisi, pada waktu senggang ia menuliskan puisi. Ketika Fanny berumur duapuluh, ia terkenal di New York dan menjadi pembicara yang banyak dicari untuk kutipan-kutipan puisi maupun untuk upacara-upacara resmi.

Walaupun populer, ia merasakan ada sesuatu yang kurang pada hidupnya, terjadinya wabah kolera yang hebat pada tahun 1849 menunjukkan padanya apakah itu. Lebih dari separuh siswa-siswi di Institut mati, salah satunya mati di pelukannya. Setelah membantu merawat mereka yang sakit selama beberapa bulan, ia hampir tertular oleh penyakit itu dan ia mengungsi ke luar kota.

Kematian teman-teman dekatnya sangat mengguncangkan Fanny. Di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk mati. Pada 20 November 1850 ia berlutut di depan mimbar gereja dan memberikan hatinya kepada Yesus. Penulis biografi Basil Miller menceritakan kata-katanya: “Untuk pertama kali saya menyadari bahwa saya telah mencoba memegang dunia di salah satu tangan dan Tuhan di tangan yang lain.”Akhirnya, Tuhan yang diperkenalkan oleh neneknya menjadi nyata baginya.

Puisi-pusinya mencerminkan perubahan di hatinya, dan lagu-lagu pujian menggantikan puisi-puisinya. Ketika ia bertemu dengan komponis Kristen William Bradbury pada tahun 1864, segera mereka bersahabat. Bradbury membuat lagu-lagu bagi banyak syair-syair Fanny; walaupun ia bekerja dengan banyak komponis, kerjasama mereka yang paling erat.

Fanny biasanya mengarang puluhan lagu di kepalanya sebelum ia mendiktekannya pada sekretarisnya, tetapi bagaimana pun ia mencipta, ia selalu menggunakan cara yang sama. Ia menyebutkan caranya: “Mungkin cara ini kuno, yaitu selalu memulai pekerjaan dengan berdoa, saya tak pernah menuliskan lagu tanpa meminta pada Tuhan untuk menjadi sumber inspirasi saya.”

Ia menerima banyak undangan untuk berbicara hingga ia kewalahan, dan orang terkenal seperti Presiden Polk sering memanggilnya. Dengan memiliki banyak teman dan relasi, ia tak pernah merasa kesepian. Pada tahun 1858, Tuhan memberikan padanya seorang yang istimewa dalam kehidupannya, yaitu musisi buta Alexander Van Alstyne. Mereka menikah selama 44 tahun dan mempunyai seorang anak yang meninggal pada waktu bayi.

Walaupun pada akhir masa-masa hidupnya, Fanny tetap sibuk seperti biasa, bukan hanya dengan menulis lagu. Ia menaruh perhatian pada mereka yang kurang beruntung, dan ia bekerja sukarela pada pusat pelayanan lokal. Bila ada seseorang yang datang padanya dengan pertanyaan atau keperluan, ia selalu menemuinya secara pribadi dan membagikan padanya terang Firman Allah.

Fanny wafat dengan tenang di rumahnya di Bridgeport, Connecticut, pada 12 Februari 1915. Kerumunan pada saat pemakamannya merupakan bukti pengaruhnya yang luas yang dimilikinya bagi Tuhan. Kata-kata ini berasal dari salah satu lagunya (Saved by Grace) yang menyatakan hal yang paling diharapkannya: “And I shall see Him face to face and tell the story – saved by grace. (Dan aku akan bertemu muka dengan-Nya dan menuturkan kisah - diselamatkan oleh anugerah.)”

(diambil dari http://www.geocities.com/situskris/fannycrosby.htm)

Saturday, July 26, 2008

Mengenal Paduan Suara

Paduan suara
Paduan suara atau kor (dari bahasa Belanda, koor) merupakan istilah yang merujuk kepada ensembel musik yang terdiri atas penyanyi-penyanyi maupun musik yang dibawakan oleh ensembel tersebut. Umumnya suatu kelompok paduan suara membawakan musik paduan suara yang terdiri atas beberapa bagian suara (bahasa Inggris: part, bahasa Jerman: Stimme).
Dalam pengertian ini, paduan suara juga mencakup kelompok vokal (vocal group), walaupun kadang kedua istilah ini saling dibedakan.
Struktur paduan suara
Paduan suara biasanya dipimpin oleh seorang dirigen atau choirmaster yang umumnya sekaligus adalah pelatih paduan suara tersebut. Umumnya paduan suara terdiri atas empat bagian suara (misalnya sopran, alto, tenor, dan bas), walaupun dapat dikatakan bahwa tidak ada batasan jumlah suara yang terdapat dalam paduan suara. Selain empat suara, jumlah jenis suara yang paling lazim dalam paduan suara adalah tiga, lima, enam, dan delapan. Bila menyanyi dengan satu suara, paduan suara tersebut diistilahkan menyanyi secara unisono.
Paduan suara dapat bernyanyi dengan atau tanpa iringan alat musik. Bernyanyi tanpa iringan alat musik biasanya disebut sebagai bernyanyi a cappella. Bila bernyanyi dengan iringan, alat musik pengiring paduan suara dapat terdiri atas alat musik apa saja, satu, beberapa, atau bahkan suatu orkestra penuh.
Untuk latihan paduan suara, alat pengiring yang digunakan biasanya adalah piano, termasuk bahkan jika pada penampilannya digunakan alat musik lain atau ditampilkan secara a cappella.
Tata letak panggung
Terdapat banyak pandangan mengenai bagaimana masing-masing kelompok bagian suara dalam paduan suara ditempatkan di panggung pada suatu penampilan. Pada paduan suara simfonik, biasanya bagian-bagian suara diatur dari suara tertinggi ke suara terendah (misalnya sopran, alto, tenor, dan kemudian bas) dari kiri ke kanan, bersesuaian dengan penempatan bagian alat musik gesek umumnya. Pada penampilan a cappella atau dengan iringan piano, umumnya pria ditempatkan di belakang dan wanita di depan; penempatan kelompok bas di belakang kelompok sopran disukai oleh beberapa dirijen dengan alasan bahwa kedua bagian suara ini harus saling menyesuaikan nada.
Paduan suara yang lebih berpengalaman sering menyanyi dengan semua bagian suara bercampur dan tidak terkelompok-kelompok. Pendapat yang mendukung metode penempatan ini adalah bahwa metode ini memudahkan masing-masing penyanyi untuk mendengarkan dan menyesuaikan nada dengan bagian suara yang lain, walaupun hal ini menuntut kemandirian masing-masing penyanyi.
Jenis-jenis paduan suara
Kelompok paduan suara dapat dikategorikan berdasarkan jenis suara yang terdapat di dalam paduan suara tersebut:
• Paduan suara campuran (yaitu dengan suara wanita dan suara pria). Jenis ini mungkin merupakan yang paling lazim, biasanya terdiri atas suara sopran, alto, tenor, dan bas, sering disingkat sebagai SATB. Seringkali pula salah satu atau beberapa jenis suara tersebut dibagi lagi menjadi dua atau lebih, misalnya SSAATTBB (setiap jenis suara dibagi dua) dan SATBSATB (paduan suara tersebut dibagi menjadi dua yang masing-masing terdiri atas empat jenis suara). Kadang kala jenis suara bariton juga dipisahkan (misalnya SATBarB), seringkali dinyanyikan oleh penyanyi bersuara bas tinggi.
• Paduan suara wanita, biasanya terdiri atas jenis suara sopran dan alto yang masing-masing dibagi dua, sering disingkat SSAA. Bentuk lain adalah tiga suara, yaitu sopran, mezzo-sopran, dan alto, kadang disingkat SMA.
• Paduan suara pria, biasanya terdiri atas dua bagian tenor, bariton, dan bas, sering disingkat TTBB (atau ATBB jika kelompok suara tertinggi bernyanyi dengan teknik falsetto pada jangkauan nada alto, seperti lazimnya pada musik barbershop). Jenis lain paduan suara pria adalah paduan suara yang terdiri atas suara SATB seperti pada paduan suara campuran namun bagian sopran dinyanyikan oleh anak-anak laki-laki (sering disebut treble) dan bagian alto dinyanyikan oleh pria (dengan teknik falsetto, sering disebut kontratenor).
• Paduan suara anak, biasanya terdiri atas dua suara SA atau tiga suara SSA, atau kadang lebih dari itu.
Pengkategorian lain untuk paduan suara adalah berdasarkan jumlah penyanyi di dalamnya, misalnya:
• Ensembel vokal atau kelompok vokal (3-12 penyanyi)
• Paduan suara kecil atau paduan suara kamar (12-28 penyanyi)
• Paduan suara besar (lebih dari 28 penyanyi)
Paduan suara juga dapat dikategorikan menurut jenis atau genre karya yang dibawakannya, misalnya:
• Paduan suara simfonik
• Paduan suara opera
• Paduan suara lagu keagamaan (musica sacra)
• Paduan suara lagu popular
• Paduan suara jazz
• Paduan suara lagu rakyat
• Paduan suara pertunjukan (show choir), yang anggota-anggotanya menyanyi dan menari dalam penampilan yang seringkali menyerupai pertunjukan musical.
Selain itu, paduan suara dapat dikategorikan menurut lembaga tempat paduan suara tersebut berada, misalnya:
• Paduan suara Gereja,
• Paduan suara sekolah,
• Paduan suara mahasiswa,
• Paduan suara umum,
• Paduan suara profesional.
Beberapa karya paduan suara
• Zadok the Priest - Georg Friedrich Händel (1727)
• Oratorio Messiah - Georg Friedrich Händel (1741)
• Simfoni No. 9 - Ludwig van Beethoven (1824)
Beberapa paduan suara terkenal Paduan suara profesional dan amatir
• Batavia Madrigal Singers, Jakarta (pranala luar(en))
• BBC Singers, London, Inggris (pranala luar(en))
• Chanticleer, San Francisco, AS (pranala luar(en))
• Chor der Deutschen Oper Berlin (Paduan Suara Opera Jerman Berlin), Jerman (pranala luar(de))
• Chorus of the Academy of St. Martin in the Fields, London, Inggris (pranala luar(en))
• London Philharmonic Choir, London, Inggris (pranala luar(en))
• Monteverdi Choir, London, Inggris (pranala luar(en))
• Philippine Madrigal Singers, Manila, Filipina (pranala luar(en))
• The Cambridge Singers, Cambridge, Inggris (pranala luar(en))
• The King's Singers, Inggris (pranala luar(en))
• The Swingle Singers, London, Inggris (pranala luar(en))
• Twilite Chorus, paduan suara Twilite Orchestra, Jakarta (pranala luar(id)(en))
• Wiener Kammerchor, Wina, Austria (pranala luar(en)(de))
• Wiener Singverein, Wina, Austria (pranala luar(de))
• Gema Sangkakala, paduan suara Gema Sangkakala, Manado (pranala luar(id)(en))
• Voice of Soul, paduan suara Voice of Soul Choir, Jakarta (pranala luar(id)(en))
Paduan suara mahasiswa atau perguruan tinggi
• Clare College Choir, Cambridge, Inggris (pranala luar(en))
• Consolatio, Universitas Sumatera Utara, Medan (pranala luar(en))
• Cornell University Glee Club, Ithaca, New York, AS (pranala luar(en))
• Harvard Glee Club, Cambridge, AS (pranala luar(en))
• Paragita, Universitas Indonesia, Jakarta (pranala luar(en))
• PSM Unpar (Paduan Suara Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan), Bandung (pranala luar(en))
• University of Santo Tomas Singers, Manila, Filipina (pranala luar(en)(de))
• PARAMABIRA (Paduan Suara Mahasiswa Universitas Bina Nusantara), Jakarta
Paduan suara anak dan remaja
• Paduan Suara Anak Bangsa (PSAB), Jakarta (pranala luar)
• Paduan Suara Anak Indonesia (PSAI), Jakarta (pranala luar(en))
• Penabur Children Chorus, Jakarta (pranala luar)
• Seven Chorale, Jakarta (pranala luar(en))
• Wiener Sängerknaben (Vienna Boys' Choir), Wina, Austria (pranala luar(en)(de))
• World Youth Choir (Paduan Suara Remaja Dunia) (pranala luar(en))
• PARAMABIRA (Paduan Suara Mahasiswa Bina Nusantara), Jakarta ([1])
• SMUKIEZ Choir-Paduan Suara SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta ([2])
Paduan suara Gereja
• Paduan suara King's College Chapel, London, Inggris (pranala luar(en))
• Paduan suara Katedral St. Paul, London, Inggris
• Voice of Miracle (VOM) Blessed to be the light to all nations, Surabaya (pranala luar)
Pranala luar
• (en)(de)(es)(fr) ChoralNet – portal situs-situs kepaduansuaraan
• (en) CPDL.org, Choral Public Domain Library – partitur gratis musik paduan suara
• (id) Milis pencinta paduan suara Indonesia

Friday, July 18, 2008

Musik Etnis Sebagai Musik Gereja

oleh : Job Palar

Jakarta - Minggu, 20 Juni 2005, dalam sebuah seminar yang merupakan bagian dari The 2nd Symposium on Church Choral Music di Bandung, Christian Tamaela sibuk dengan segala perlengkapan di ruang tempat dia akan memberi ceramah. Christian hendak membuat ruang itu semacam etalase alat-alat musik etnik.
Berbagai jenis alat musik dihadirkannya. Para peserta ceramahnya barangkali akan kesulitan untuk melafalkan nama-nama alat musik dari berbagai daerah itu. Yang paling mudah disebut, ya, batu kali. Beberapa batu kali segenggaman tangan di kelas ini “naik derajat” jadi sebuah alat musik.
“Hentakan kaki atau bagian tubuh yang dipukul-pukulkan saja sudah alat musik. Batu ini kalau kita pukul-pukulkan secara berirama pasti menimbulkan musik, tinggal kita padukan saja,” kata Christian dengan penuh semangat.
Christian Tamaela adalah seorang yang memiliki keahlian dan semangat yang langka saat ini. Baginya, musik etnik adalah jiwa dari musik itu sendiri.
Bagi Christian, semangat darik lagu-lagu dan musik etnik juga bisa membawa jemaat sebuah gereja untuk memuji Tuhan, tidak perlu menggeser atau pun berhadap-hadapan dengan musik gereja asal Barat. Musik gereja yang berakar dari musik Barat memang telah menjadi semacam musik sakral, sehingga posisi musik yang berakar kedaerahan negeri ini sendiri malah sempat dianggap musik profan.
Musik etnik jelas memiliki karakter tersendiri. Ini bisa dilihat dari bentuk tangga nadanya. Pentatonik tipe do-mi-fa-sol-si-do dikenal di daerah Sunda dengan istilah degung, atau tipe sunaren (mi-do-si-la-fa-mi) yang dipakai di Bali. Ada lagi tangga nada heksatonik (enam nada) yang khas Batak Simalungun, Sumba, atau Nias. Masih banyak lagi berbagai jenis tangga nada yang dikenal di tiap daerah.
Tiap-tiap seniman asli daerah itu tentu tidak pernah berpikir tangga nada dan sebagainya. Pengetahuan musik baratlah yang “menemukan” dan “menetapkan” pedoman itu. Christian Tamaela yang juga memiliki dasar pengetahuan barat yang cukup lengkap membuka tabir misteri tangga-tangga nada khas daerah itu dalam berbagai presentasi dan penciptaan lagu.
Setidaknya bagi Christian, musik barat memberi sumbangan terhadap pendokumentasi musik etnik.
Upaya-upaya memperkenalkan musik etnik dalam liturgi gereja saat ini lebih dikenal dengan kontekstualisasi dan inkulturasi.
Yang sering dipermasalahkan oleh jemaat di gereja-gereja biasanya adalah lagu etnik terasa begitu berjarak. “Bagaimana mungkin saya menyanyikan lagu bertangga nada heksatonik dan bernuansa Batak Simalungun, sementara saya sendiri adalah orang Minahasa?”
Pemujaan pada Tuhan lewat lagu pujian, padahal tidak mengenal batas-batas kesukuan. Asalkan lagu itu berbahasa Indonesia, walaupun dia diadopsi atau bernuansa lagu Batak Simalungun, mengapa tidak kita gunakan dalam memuja Tuhan di ibadah-ibadah kita.
Toh prosesnya sama dengan kita mengindonesiakan lagu-lagu karya Bach, Mendellsshon, Mozart dan banyak lagi, yang sekarang ini menjadi koleksi dalam kumpulan buku lagu Kidung Jemaat, misalnya.
Paduan suara gereja pasti bisa menjadi ujung tombak memperkenalkan musik etnik. Namun, ini pun bisa jadi pekerjaan rumah tersendiri.
Paduan suara gereja kebanyakan malah terjebak pada pengayaan literatur musik barat. Seolah lagu-lagu semacam Locus Iste karya Anton Bruckner atau Hallelujah karya Mendelsshon menjadi semacam lagu yang wajib diketahui atau dinyanyikan.
Christian Tamaela sendiri telah membuat lagu paduan suara yang sampai saat ini bisa dianggap sukses mendampingi kepatenan lagu-lagu semacam Hallelujah karya Mendelsshon. Setidaknya, paduan-paduan suara negeri ini akan lebih merasa lengkap jika mereka pernah menyanyikan lagu Toki Gong karya Christian Tamaela.
Syair awalnya berbunyi demikian,”Taka dong dong, taka dong dong, taka taka dong, dong…” Sepintas seperti tak bermakna apa-apa. Lagu ini mengajak kita bersuka cita dalam memuliakan Tuhan, namun dengan keceriaan seperti keceriaan penduduk desa di salah satu sudut Ambon sepulang dari melaut.
“Saya membayangkan orang-orang bernyanyi dan menari dengan tifa. Orang-orang di Ambon kalau menyanyi sering sekali diiringi tifa. Bunyi ‘taka’ itu tiruan tifa, dan bunyi ‘dong’ tiruan gong,” kata Christian menjelaskan tentang proses penciptaan lagunya kepada SH.
Lagu ini begitu ritmis, di berbagai bagian akan terselip tepukan tangan yang harus dilakukan secara seragam. Ini pula yang membuat banyak paduan suara merasa tertantang untuk membawakannya dengan baik dan sesempurna mungkin.
Saat ini, apa yang diperjuangkan oleh Christian dengan menciptakan sekaligus memperkenalkan lagu-lagu etnik boleh jadi telah berbuah. Banyak gereja yang telah mengakui karya-karya musik etnik di dalam struktur liturgi mereka. Dan lagu-lagu Christian Tamaela menjadi salah satu lagu yang paling sering ditemui.
Sebut saja lagu-lagunya seperti O Datanglah Segra ya Roh Kudus (O Come Quicly, Holy Spirit) dan Tuhan Kasihani (Kyrie Eleison) yang telah terdaftar dalam buku nyanyian jemaat bertajuk Sound The Bamboo, Christian Conference of Asia Hymnal 1990/2000.
Ini adalah pencapaian yang sangat baik untuk ukuran jemaat gereja yang telah menganggap lagu-lagu Baratlah yang bisa disebut “lagu gereja”. Dan, perjuangan mencari pengakuan untuk lagu-lagu etnik itu sudah pasti belum selesai. Christian Tamaela masih akan terus berkarya menciptakan lagu-lagu bernuansa etnik, setidaknya dari ranah kehidupan yang telah dikenalnya dan mendarah daging, yaitu etnik Maluku.

Copyright © Sinar Harapan 2003